Senin, 26 November 2012

MENURUT AJIP ROSIDI

Periodisasi sastra adalah pembabakan waktu terhadap perkembangan sastra yang ditandai dengan ciri-ciri tertentu. Maksudnya tiap babak waktu (periode) memiliki ciri tertentu yang berbeda dengan periode yang lain, misalnya pada angkatan ‘45

Ciri-ciri Angkatan ’45 adalah:

§ Terbuka

§ Pengaruh unsur sastra asing lebih luas

§ Corak isi lebih realis, naturalis

§ Individualisme sastrawan lebih menonjol, dinamis, dan kritis

§ Penghematan kata dalam karya

§ Ekspresif

§ Sinisme dan sarkasme

§ Karangan prosa berkurang, puisi berkembang



Periodisasi sastra menurut Ajip Rosidi :

A. Masa Kelahiran :

1. Periode awal tahun 1933

2. Periode 1933 - 1942

3. Periode 1942 - 1945

B. Masa Perkembangan :

1. Periode 1945 - 1953

2. Periode 1953 - 1960

3. Periode 1960 - sekarang



Ada ratusan karya Ajip. Beberapa di antaranya:

Tahun-tahun Kematian (kumpulan cerpen, 1955)

Ketemu di Jalan (kumpulan sajak bersama SM Ardan dan Sobron Aidit, 1956)

Pesta (kumpulan sajak, 1956)

Di Tengah Keluarga (kumpulan cerpen, 1956)

Sebuah Rumah buat Haritua (kumpulan cerpen, 1957)

Perjalanan Penganten (roman, 1958, sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis oleh H. Chambert-Loir, 1976; Kroatia, 1978, dan Jepang oleh T. Kasuya, 1991)

Cari Muatan (kumpulan sajak, 1959)

Membicarakan Cerita Pendek Indonesia (1959)

Surat Cinta Enday Rasidin (kumpulan sajak, 1960);



Catatan :

Periodisasi sastra ada masa kelahiran :
·
Periodisasi sastra awal tahun 1933

Periodisasi ini sering disebut juga zaman balai pustaka. Padamasa ini prosa (roman, novel, cerita pendek dan drama) dan puisi mulai menggantikan kedudukan syair, pantun, gurindam dan hikayat dalam khazanah sastra di Indonesia pada masa ini. Balai Pustaka didirikan untuk mencegah pengaruh buruk dari bacaan cabul dan liar yang dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah yang banyak menyoroti kehidupan pernyaian (cabul) dan dianggap memiliki misi politis (liar). Balai Pustaka menerbitkan karya dalam tiga bahasa yaitu bahasa Melayu-Tinggi, bahasa Jawa dan bahasa Sunda; dan dalam jumlah terbatas dalam bahasa Bali, bahasa Batak dan bahasa Madura.

· Periodisasi sastra tahun 1933 s.d 1942

Periodisasi ini merupakan karya sastra Indonesia setelah zaman balai pustaka.
Masa ini ada dua kelompok sastrawan Pujangga baru yaitu :

1. Kelompok “Seni untuk Seni” yang dimotori oleh Sanusi Pane dan Tengku Amir Hamzah
2. Kelompok “Seni untuk Pembangunan Masyarakat” yang dimotori oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane dan Rustam Effendi

· Periodisasi sastra tahun 1942 s.d 1945

Pengalaman hidup dan gejolak sosial-politik-budaya telah mewarnai karya sastrawan Angkatan '45. Karya sastra angkatan ini lebih realistik dibanding karya Angkatan Pujangga baru yang romantik-idealistik. Karya-karya sastra pada angkatan ini banyak bercerita tentang perjuangan merebut kemerdekaan seperti halnya puisi-puisi Chairil Anwar. Sastrawan angkatan '45 memiliki konsep seni yang diberi judul "Surat Kepercayaan Gelanggang". Konsep ini menyatakan bahwa para sastrawan angkatan '45 ingin bebas berkarya sesuai alam kemerdekaan dan hati nurani. Selain Tiga Manguak Takdir, pada periode ini cerpen Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma dan Atheis dianggap sebagai karya pembaharuan prosa Indonesia.

Periodisasi sastra pada masa perkembangan :

· Periodisasi sastra tahun 1945 – 1953
Angkatan 50 ini sendiri ditandai oleh terbitnya majalah sastra kisah asuhan H.B.Jassin. angkatan ini didominasi oleh cerita pendek. Pada angkatan ini muncul gerakan komunis dikalangan sastrawan, yang bergabung dalam lembaga kebudayaan rakyat (lekra) yang berkonsep sastra realisme-sosialis. Muncul perpecahan dan polemik yang berkepanjangan dikalangan sastrawan.

Nama angkatan 50 itu sendiri dikemukakan pertama kali oleh Rendra beserta kawan kawan dari jogja pada akhir 1953. Nama ini diberikan bagi sastrawan yang mulai menulis pada tahun 50 –an. Ajip rosidi menulis naskah yang berjudul “sumbangan terbaru sastrawan indonesia kepada kesusastraan Indonesia.


· Periodisasi sastra tahun 1953 – 1960

Istilah angkatan ‘66 yang dikemukakan oleh H.B. Jassin melalui antologinya mendapat beberapa tanggapan dari berbagai pihak pengarang, diantaranya adalah Ajib Rosidi. Ajib menganggap bahwa penamaan dan pengajuan tesis mengenai angkatan ‘66 itu kurang dapat dipertanggungjawabkan. H.B. Jasssin sendiri berpendapat bahwa angkatan ‘66 ini sejalan dengan tumbuhnya aksi-aksi sosial politik di awal angkatan รข€˜66 yang dipelopori oleh KAMMI/KAPPI untuk memperjuangkan Tritura. H.B. Jassin merumuskan bahwa sastra angkatan ‘66 adalah sastra yang diwarnai oleh protes dan perjuangan menegakkan keadilan berdasarkan kemanusiaan. Berdasarkan teori tersebut H.B. Jassin berpendapat bahwa tahun 1966 merupakan tahun lahirnya suatu generasi dan konsep baru dalam sastra yang kemudian disebutnya dengan nama angkatan ‘66.

Ajib Rosidi melihat bahwa teori Jassin tidak konsisten, terutama dalam menunjukkan sastrawan-sastrawan yang dianggap mewakili angkatan ‘66. A.A. Navis contohnya ia disebutkan sebagai pengarang angkatan ‘66, namun sastrawan ini muncul sejak tahun 1950-an. Hal ini sebagai dasar Ajib Rosidi dalam menanggapi pendapat H.B. Jassin. Ia tidak melihat teori Jassin ini dapat diterapkan untuk menyebut lahirnya angkatan ‘66. Masyarakat sastra pada umumnya sudah terlanjur menerima pernyataan H.B. Jassin sehingga dalam ilmu sastra pun terdapat penamaan angkatan ‘66.

Pada saat menjelang tahun 1970-an sastra perotes sudah tidak bergema lagi seperti awal tahun 1960-1966. Sastra protes tersebut tercermin pada kumpulan sajak Taufik Ismail, yaitu: Tirani dan Benteng. Awal tahun 70-an mulai berkembang sastra populer dan bermunculan majalah hiburan, majalah wanita, majalah profesi. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa gema angkatan ‘66 tidak dimulai pada tahun 1966 tetapi pada tahun 1966 justru angkatan ‘66 mulai berakhir.